preloader

Ancaman Terhadap Kebebasan Akademik di Indonesia dan AS

Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera bekerja sama dengan  Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (FH Unpad) menyelenggarakan International Lecture bertajuk “Executive Power and the Erosion of Academic Autonomy: American and Indonesian Experience” pada Jumat (22/08/2025) di Bandung. Acara ini menghadirkan para pakar hukum dari University of Washington School of Law, Prof. Elizabeth G. Porter dan Prof. Mireille Butler, dan Guru Besar Luar Biasa Jentera dan Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Susi Dwi Harijanti. 

Diskusi ini membahas fenomena menguatnya kekuasaan eksekutif dan dampaknya terhadap kebebasan serta otonomi institusi pendidikan tinggi di Amerika Serikat dan Indonesia, terutama di tengah gelombang politik populis global. Prof. Elizabeth G. Porter memaparkan bagaimana tradisi panjang kebebasan akademik di Amerika Serikat kini berada di bawah ancaman. “Pada masa jabatan keduanya sebagai presiden, Donald Trump telah menargetkan pendidikan tinggi, baik institusi spesifik maupun sebagai kategori secara keseluruhan, melalui serangkaian perintah eksekutif yang berkelanjutan,” ungkap Prof. Porter. Meskipun legalitas dari perintah-perintah Presiden Trump masih belum dipastikan oleh pengadilan, banyak kerusakan yang telah terjadi. Menurutnya, perintah eksekutif di era Trump tidak lagi hanya berupa dokumen teknokratis yang membosankan, melainkan telah menjadi alat komunikasi politik yang kuat. “Jika Anda membaca perintah eksekutifnya, banyak di antaranya terdengar seperti unggahan media sosial, dan itu disengaja,” jelas Prof. Porter. 

Prof. Mireille Butler memberikan konteks historis, di mana perintah eksekutif di masa lalu justru digunakan sebagai alat perlindungan. Ia mencontohkan Proklamasi Emansipasi oleh Presiden Lincoln, perintah desegregasi militer oleh Presiden Truman, dan kebijakan DACA oleh Presiden Obama yang melindungi imigran anak-anak. Hal ini kontras dengan praktik saat ini, di mana Presiden Trump memerintah dengan dekret (governing by fiat), yang dibuktikan dengan penandatanganan 142 perintah eksekutif dalam 100 hari pertamanya. “Akibatnya, universitas kini diserang dari segala arah, mulai dari pendanaan, kemampuan merekrut mahasiswa, otonomi dalam perekrutan, hingga kebebasan membahas isu rasisme, yang memicu brain exit atau eksodus para ilmuwan.” ujar Prof. Butler. 

Sementara itu, Prof. Susi Dwi Harijanti juga memberikan perspektif dari Indonesia. Ia menyoroti bagaimana perubahan pemerintahan di bawah administrasi Presiden Prabowo, kabinet menjadi sangat besar, dengan lebih dari 50 deputi menteri, yang ia sebut sebagai “kabinet gemuk” atau bloated cabinet. “Ini adalah bentuk akomodasi politik untuk para aktor yang memberikan dukungan saat pemilu,” ujar Prof. Susi. Lebih lanjut, ia menjelaskan intervensi pemerintah terhadap otonomi universitas di Indonesia yang terlihat dalam tiga aspek utama: kekuasaan dalam kepegawaian, manajemen keuangan termasuk anggaran dan pendapatan, serta dalam otonomi akademik itu sendiri.

Terakhir, Prof. Porter menekankan pesan penting kepada orang muda untuk terus terlibat membuka ruang-ruang kebebasan akademik. Menurutnya, kebebasan akademik bukan hanya persoalan institusi, melainkan juga tanggung jawab generasi muda untuk menjaganya di tengah menguatnya kekuasaan eksekutif. “Sayangnya, bukan kami yang akan menyelesaikan masalah ini. Kalianlah, para mahasiswa di sini, mahasiswa di Amerika Serikat, generasi baru pengacara dan aktivis, yang harus menghadapi ini,” ujar Prof. Porter.