
Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera dan Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) bertajuk “Sosialisasi Rancangan Peraturan Perundang-undangan Tentang Ratifikasi Konvensi UNESCO 1970 & Konvensi UNIDROIT 1995” pada Kamis, (04/12/2025) di kampus Jentera.
Membuka acara, Aryudi Saputra, Person in Charge dari Direktorat Kerjasama Kebudayaan, melaporkan bahwa diskusi ini adalah bentuk partisipasi publik terhadap naskah rancangan ratifikasi. Direktur Kerjasama Kebudayaan, Mardi Sontori, menekankan bahwa Kementerian Kebudayaan, yang berdiri sendiri sejak Kabinet Prabowo pada tahun 2024, berkomitmen menjadikan budaya sebagai pilar pembangunan. Ia menggarisbawahi Pasal 32 ayat 1 UUD 1945, yang mengamanatkan negara untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia.
Ketua STH Indonesia Jentera, Aria Suyudi, dalam pidato kuncinya, menyambut baik kemitraan strategis ini, kegiatan ini sejalan dengan moto Jentera sebagai sekolah bagi para pembaru hukum. Ia menyoroti bahwa kedua konvensi tersebut sangat penting karena Indonesia sebagai bangsa, memiliki warisan budaya yang tidak terpisahkan dari identitasnya.
Ikatan Alumni Jentera (KANI Jentera), yang diwakili oleh Debi Talita, turut menyampaikan sambutan, menyatakan bahwa ratifikasi kedua konvensi ini sangat strategis. Hal ini dikarenakan tingginya angka perdagangan ilegal benda budaya, pentingnya melindungi benda budaya sebagai memori kolektif bangsa, dan kebutuhan akan kepastian hukum untuk mekanisme restitusi serta pengembalian benda budaya yang dicuri ke Indonesia.
Dalam diskusi, Departemen Hukum Teknologi Informasi, Komunikasi, dan Kekayaan Intelektual Universitas Padjajaran, Laina Rafianti menjelaskan bahwa Konvensi UNESCO 1970 berkarakter hukum internasional publik yang bertujuan untuk mencegah perdagangan ilegal, sementara Konvensi UNIDROIT 1995 berkarakter hukum perdata internasional yang fokus pada repatriasi melalui jalur litigasi antar individu. “Urgensi ratifikasi adalah untuk memperkuat posisi hukum Indonesia dalam repatriasi, menciptakan dasar hukum internasional untuk pencegahan perdagangan ilegal, dan menegaskan kedaulatan budaya sebagai bagian dari kedaulatan negara.” jelasnya.
Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga Kementerian Kebudayaan, Ismunandar, menjelaskan bahwa Konvensi UNESCO 1970 menjadi kerangka kerja sama internasional untuk melarang dan mencegah impor, ekspor, dan transfer ilegal benda-benda budaya. “Pilar utama konvensi adalah pencegahan, termasuk pembuatan inventarisasi nasional dan sertifikat ekspor.” tegasnya. Ia menyebut Indonesia menjadi salah satu negara “gap” di Asia Pasifik yang belum meratifikasi, dan ratifikasi dapat menjadi daya ungkit untuk segera meningkatkan kemampuan di tingkat nasional.
Pengajar STH Indonesia Jentera, Reny R. Pasaribu, menyoroti bahwa kerangka hukum nasional, khususnya UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, masih melarang ekspor cagar budaya ke luar wilayah negara kecuali untuk kepentingan penelitian, promosi, dan pameran tanpa peralihan kepemilikan. Hal ini berbeda dengan Konvensi UNESCO 1970 yang mengenal ekspor legal selama disertai sertifikat ekspor. “Perlunya kajian mendalam (Naskah Akademis) untuk harmonisasi dan penyesuaian regulasi yang ada, termasuk penetapan kriminalisasi ekspor/impor ilegal dan pembuatan sistem due diligence bagi kolektor dan museum.” ujarnya.
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya, Gatot Ghautama, secara spesifik menyoroti bahwa penyesuaian yang paling membutuhkan waktu adalah sistem Inventaris Nasional. Ia menjelaskan bahwa di Indonesia, benda baru bisa disebut Cagar Budaya setelah melalui proses panjang pendaftaran, verifikasi, kajian oleh Tim Ahli Cagar Budaya di berbagai level, dan penetapan kepala daerah, sebelum dicatat dalam Register Nasional. Ia menekankan bahwa benda yang masih berstatus Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) tidak sepenuhnya dilindungi. Gatot juga menyarankan pengembangan sistem basis data nasional yang terpadu dan berstandar internasional, serta perlunya kolaborasi dengan lembaga internasional seperti yang menggunakan Object ID, untuk memperkuat pencegahan perdagangan ilegal.
Diskusi ini menyimpulkan bahwa ratifikasi kedua konvensi sangat urgen untuk memperkuat kerangka hukum nasional, namun harus disertai dengan naskah akademis yang mengarah pada harmonisasi regulasi nasional serta penyesuaian regulasi yang ada agar selaras dengan standar internasional.