
STH Indonesia Jentera bersama International Labour Organization (ILO) Indonesia menyelenggarakan seminar bertajuk “Praktik Bisnis yang Bertanggung Jawab untuk Pekerjaan Layak di Indonesia” pada Rabu (08/10/2025) di kampus Jentera. Kegiatan ini mempertemukan pemangku kepentingan dari pemerintah, akademisi, asosiasi bisnis, dan serikat pekerja untuk membahas tantangan dan peluang dalam mewujudkan pekerjaan layak di Indonesia.
Dalam sambutannya, Ketua STH Indonesia Jentera, Aria Suyudi, menyampaikan apresiasi atas kolaborasi dengan ILO. Ia menegaskan bahwa isu keberlanjutan—yang mencakup HAM, lingkungan, tata kelola, dan keadilan ekonomi—merupakan agenda penting masa depan. “Isu bisnis dan HAM kini semakin relevan karena hukum harus mampu menuntut akuntabilitas dari pelaku usaha,” ujarnya.
Direktur ILO untuk Indonesia dan Timor-Leste, Simrin Singh, menekankan pentingnya peran perguruan tinggi dalam mendorong penerapan standar HAM dan ketenagakerjaan di dunia usaha. “Ketika kita berbicara tentang hak asasi manusia, siapa yang melakukan pengawasan? Karena itu, kami mengajak perguruan tinggi terlibat dalam isu ini,” ungkapnya. Menurut Simrin, kesadaran hukum dan akuntabilitas sosial perlu ditanamkan sejak di lingkungan akademik agar melahirkan generasi pelaku usaha yang bertanggung jawab.
Dalam sesi diskusi, Lany Harijanti, Manajer Program Regional Global Reporting Initiative (GRI) dan Wakil Ketua Komite Pelaksana HAM KADIN, menjelaskan bahwa GRI menyediakan standar pelaporan keberlanjutan yang paling banyak digunakan di dunia. Ia menyoroti tren global di mana Human Rights Due Diligence (HRDD)/ Uji Tuntas HAM telah menjadi kewajiban di banyak negara, termasuk Uni Eropa. “Tujuan Uji Tuntas HAM adalah memahami dampak pada manusia, bukan sekadar mengelola risiko bisnis,” tegasnya.
Lebih lanjut, Tauvik Muhamad, Koordinator Proyek ILO RISSC, memberikan definisi dasar mengenai “Kerja Layak” sebagai pekerjaan produktif yang menjunjung kebebasan, kesetaraan, keamanan, dan martabat manusia. “Indonesia memiliki tantangan besar, saat ini masih terdapat 1,1 juta pekerja anak, 1,8 juta orang dalam perbudakan modern, serta ratusan ribu kecelakaan kerja setiap tahunnya,” ujarnya.
Dari perspektif pekerja, Sekretaris Jenderal FSB Kamiparho-KSBSI, Sulistri menyoroti pelanggaran HAM yang masih sering terjadi mulai dari upah tidak adil, jam kerja berlebih, diskriminasi, hingga pemberangusan serikat pekerja. Menurutnya, Uji Tuntas HAM (HRDD) adalah alat penting bagi serikat pekerja untuk memastikan bisnis menghormati hak-hak buruh di seluruh rantai pasoknya. “KSBSI telah melakukan berbagai upaya, termasuk workshop, survei di sektor sawit dan semen, serta dialog sosial dengan manajemen,” ungkap Sulistri.
Pengajar STH Indonesia Jentera Asfinawati kemudian menjelaskan peran strategis perguruan tinggi melalui Tridharma. Perguruan tinggi dapat memprioritaskan isu bisnis dan HAM dalam kegiatan pendidikan dan pengabdian masyarakat. “Contohnya, kuliah hukum perburuhan bisa menugaskan mahasiswa mewawancarai serikat buruh dan kuliah HAM dapat memberikan tugas melakukan uji tuntas terkait kebebasan berserikat,” jelasnya.
Sebagai penutup, Sofia Alatas, Direktur Penyusunan dan Evaluasi Instrumen HAM dari Kementerian Hak Asasi Manusia, menyampaikan bahwa pemerintah tengah menyusun kebijakan baru terkait Uji Tuntas HAM untuk menggantikan Strategi Nasional Bisnis dan HAM (Stranas BHAM) yang akan berakhir pada 2025. “Data Komnas HAM menunjukkan korporasi secara konsisten menjadi lembaga peringkat kedua yang paling banyak diadukan dari tahun 2012-2024,” jelas Sofia.
Diskusi yang dimoderatori Kepala Lembaga LBH Jentera, Alviani Sabilah dapat disaksikan ulang di kanal YouTube STH Indonesia Jentera.