
Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera berkolaborasi dengan Melbourne Law School menyelenggarakan kuliah umum internasional bertajuk “Refugees and Statelessness in Asia” pada Senin, (22/09/2025). Kegiatan ini merupakan bagian dari kerja sama yang terjalin sejak penandatanganan nota kesepahaman kedua institusi pada 2023 lalu.
Dalam sambutannya, Wakil Ketua Bidang Akademik Jentera, Dian Rositawati, menyatakan bahwa topik Refugees dan Statelessness di Asia adalah isu yang sangat mendesak dan relevan. “Asia adalah rumah bagi sebagian populasi pengungsi dan tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia,” ujarnya. Ia berharap kolaborasi dengan Melbourne Law School dapat terus berkembang melalui riset bersama, pertukaran mahasiswa, dan program akademis lainnya.
Dean of Melbourne Law School Prof. Michelle Foster, dalam paparannya, memfokuskan paparannya pada isu Statelessness atau orang tanpa kewarganegaraan, yang menurutnya masih kurang dipahami dibanding pengungsi (Refugees). Menurut Konvensi 1954, stateless adalah “seseorang yang tidak dianggap sebagai warga negara oleh negara mana pun berdasarkan hukumnya”.
Perbedaan utama dengan pengungsi, kata Prof. Foster, adalah bahwa pengungsi meninggalkan negara asal akibat persekusi, sedangkan orang tanpa kewarganegaraan tetap berada di wilayah yang mereka anggap rumah (in situ). Ia menekankan kesulitan memperoleh data akurat soal jumlah orang tanpa kewarganegaraan, karena banyak yang “tidak terlihat secara hukum,” dengan estimasi global bisa mencapai 1 miliar orang.
Beberapa penyebab utama status tanpa kewarganegaraan yang diidentifikasi di antaranya adalah diskriminasi, baik berdasarkan gender, ras, maupun etnis, yang menjadi akar dari banyak kasus. Contoh utamanya adalah etnis Rohingya di Myanmar. Kesenjangan dalam undang-undang kewarganegaraan juga menjadi pemicu, di mana sekitar 24 negara di dunia masih tidak mengizinkan perempuan untuk mewariskan kewarganegaraan kepada anak-anak mereka atas dasar yang sama dengan laki-laki. Suksesi negara dan pencabutan kewarganegaraan secara sewenang-wenang, seperti yang terjadi pada sekitar dua juta orang yang dikeluarkan dari Daftar Warga Negara Nasional di Assam, India. Serta, tantangan baru seperti perubahan iklim dan perpindahan penduduk.
Meski sudah ada kerangka hukum internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 dan Konvensi 1954 serta 1961, implementasinya di Asia menghadapi hambatan serius, termasuk rendahnya tingkat ratifikasi. Prof. Foster kemudian membandingkan kondisi Australia yang telah meratifikasi konvensi namun tidak memiliki sistem implementasi yang jelas, dengan Indonesia yang belum meratifikasi namun memiliki perlindungan dalam hukumnya bagi anak yang lahir di wilayah Indonesia yang orang tuanya tidak diketahui kewarganegaraannya.
Prof. Foster juga menilai adanya kemajuan signifikan dalam 15 tahun terakhir, terutama berkat kampanye “I Belong” dari UNHCR yang mendorong peningkatan ratifikasi dan implementasi traktat. Ia juga menceritakan tentang program untuk menangani masalah tersebut di Peter McMullen Centre on Statelessness di Melbourne Law School, yang salah satunya menjalankan Statelessness Legal Clinic. Melalui klinik ini, para mahasiswa membantu anak-anak yang lahir dari keluarga tanpa kewarganegaraan di Australia untuk mendapatkan kewarganegaraan, secara efektif memutus siklus tanpa kewarganegaraan antargenerasi.
Diskusi yang dimoderatori Pengajar STH Indonesia Jentera, Rivana Mezaya dapat disaksikan ulang di kanal YouTube STH Indonesia Jentera.