
Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia, Federal Court of Australia, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), dan didukung oleh Australia Indonesia Partnership for Justice Phase 3 (AIPJ3) menyelenggarakan seminar internasional bertajuk “Judiciaries and Climate Justice: Global Perspectives on Resolving Environmental Disputes” pada Rabu (01/10/2025).
Seminar ini mempertemukan para ahli hukum, akademisi, dan hakim dari Indonesia dan Australia untuk membahas peran penting lembaga peradilan dalam menangani sengketa lingkungan dan perubahan iklim.
Dalam sambutannya, Ketua STH Indonesia Jentera, Aria Suyudi menyoroti sejarah panjang kerja sama yudisial antara Indonesia dan Australia di bidang hukum lingkungan. “Forum ini adalah kesempatan bagi para hakim Indonesia untuk mendapatkan perspektif komparatif tentang bagaimana peradilan di seluruh dunia, khususnya di Australia, beradaptasi untuk menangani isu-isu hukum baru ini,” ujarnya.
Ketua Kamar Perdata Mahkamah Agung RI Gusti Agung Sumanatha, dalam pidato kuncinya, menegaskan bahwa peran peradilan dalam menangani perubahan iklim menjadi semakin penting. Menurutnya pengadilan di seluruh dunia semakin sering memutus perkara yang melibatkan ilmu pengetahuan, kebijakan, dan hukum perubahan iklim. Di Indonesia sendiri, Mahkamah Agung telah mengambil langkah proaktif dengan membentuk sistem sertifikasi hakim lingkungan sejak 2011, menghasilkan 1.661 hakim bersertifikat hingga 2025. “Sistem ini memposisikan Indonesia sebagai model di kawasan Asia Pasifik,” tegasnya.
Sementara itu, Chief Justice Federal Court of Australia, Debra Mortimer, memaparkan tren sengketa perubahan iklim di Australia, mulai dari judicial review terhadap keputusan pemerintah, gugatan masyarakat adat, hingga kasus greenwashing yang dilakukan oleh korporasi.
Salah satu poin penting yang ditekankan adalah pentingnya litigasi strategis yang didukung oleh fakta dan bukti ahli yang kuat. “Sebagai hakim, kami hanya bisa memutus perkara yang diajukan kepada kami. Oleh karena itu, kami bergantung pada pengacara yang berdedikasi dan klien yang berani untuk membawa kasus-kasus ini ke pengadilan,” ungkapnya. Mortimer juga mencontohkan kasus Pabai Pabai & Anor v Commonwealth of Australia, di mana masyarakat Kepulauan Selat Torres menggugat pemerintah Australia atas kegagalannya mengambil tindakan terhadap pemanasan global yang menyebabkan pulau mereka terancam tenggelam.
Direktur Eksekutif Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Raynaldo G. Sembiring menyoroti adanya pergeseran dalam litigasi iklim di Indonesia. “Jika sebelumnya isu iklim hanya menjadi perhatian sekunder, kini mulai menjadi argumen hukum utama dalam beberapa kasus, seperti gugatan terhadap izin lingkungan pembangkit listrik di Jawa Barat,” ujarnya. Ia juga menekankan urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang Keadilan Iklim untuk memperkuat dasar hukum litigasi di masa depan.
Chief Executive Officer Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Mas Achmad Santosa menekankan perlunya pergeseran paradigma dari antroposentrisme (berpusat pada manusia) menuju ekosentrisme dan pengakuan terhadap batas-batas aman dan adil planet (safe and just planetary boundaries). Ia mengkritik model pembangunan Indonesia yang masih mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi dengan biaya lingkungan yang besar. “Konsep strong sustainability harus diadopsi, di mana modal alam yang kritis tidak dapat digantikan oleh kekayaan buatan manusia.” jelasnya.
Pengajar STH Indonesia Jentera, Wiwiek Awiati membahas pentingnya partisipasi publik yang bermakna, yang sayangnya mengalami kemunduran dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Menurutnya, UU Cipta Kerja membatasi keterlibatan masyarakat hanya pada mereka yang terdampak langsung dan menghapus komisi penilai AMDAL yang sebelumnya melibatkan perwakilan masyarakat. “Pentingnya ketentuan anti-SLAPP (Gugatan Strategis Terhadap Partisipasi Publik) dalam Pasal 66 UU Lingkungan Hidup untuk melindungi aktivis yang memperjuangkan lingkungan dari kriminalisasi,” jelasnya.
Sebagai penutup, Senior Adviser AIPJ3, Laode M. Syarif memberikan konteks mengenai tantangan penegakan hukum lingkungan di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh politik dan korupsi. Ia memaparkan data bahwa pada periode parlemen sebelumnya, 262 dari 575 anggota parlemen adalah pebisnis, yang menciptakan potensi konflik kepentingan yang besar. “Jangan pernah bermimpi tentang keadilan lingkungan yang ideal jika Anda hidup di masyarakat yang korup,” tegasnya. Ia mencontohkan sulitnya mengeksekusi putusan Mahkamah Agung terhadap korporasi besar sebagai tanda lemahnya penegakan hukum di lapangan.
Seminar ditutup dengan kesimpulan bahwa kerja sama internasional, peningkatan kapasitas hakim secara berkelanjutan, dan litigasi strategis oleh masyarakat sipil menjadi kunci untuk mendorong peran peradilan dalam mewujudkan keadilan iklim baik di Indonesia maupun di tingkat global.