preloader

Orasi Ilmiah Prof. Topo Santoso: Hubungan Kompleks antara Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia

Orasi ilmiah ini disampaikan pada Penerimaan Mahasiswa Baru 2025/2026 dan Wisuda Sarjana Tahun Akademik 2024/2025 pada Selasa (9/9/2025) di Kampus Jentera, Jakarta.


Pidato ini menganalisis hubungan kompleks antara hukum pidana dan hak asasi manusia (HAM), melampaui pemahaman dikotomis sederhana. Argumen utama saya menekankan pentingnya kerangka hukum yang komprehensif, penegakan hukum yang efektif, dan pencegahan impunitas untuk mewujudkan potensi hukum pidana dalam melindungi HAM.

Diskursus mengenai hubungan hukum pidana dan HAM seringkali diwarnai paradoks. Di satu sisi, hukum pidana berpotensi melanggar HAM melalui pemidanaan dan pembatasan kebebasan individu. Di sisi lain, hukum pidana juga berperan krusial dalam melindungi HAM dengan mengkriminalisasi pelanggaran dan memberikan sanksi bagi para pelaku. Memahami dinamika kompleks ini memerlukan analisis multi-perspektif yang melampaui pandangan biner dan menggali substansi interaksi keduanya.

Hukum pidana, baik materiil maupun formil, memiliki peran ganda: melindungi hak asasi manusia (HAM) terhadap pelanggaran dan sekaligus menjadi instrumen penegakan norma HAM. Perlindungan tersebut diwujudkan melalui norma substantif (hukum pidana materiil) dan mekanisme prosedural (hukum pidana formil). Contoh representatif adalah asas ne bis in idem pada ranah materiil dan mekanisme praperadilan pada ranah formil.

Dalam konteks negara kita sendiri, hukum pidana dapat melanggar HAM (contoh pembatasan kebebasan/penggunaan pidana terhadap ekspresi misalnya yang kerap diperdebatkan adalah kasus Kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok, 2017). Pengadilan serta Vonis penodaan agama pada Ahok di kasus itu menunjukkan bagaimana ketentuan pidana (pasal blasphemy) oleh sebagian pihak dikatakan telah dipakai untuk membatasi kebebasan berpendapat dan berdampak pada hak-hak politik. Selain itu praktik kriminalisasi terhadap aktivis atau wartawan dalam beberapa periode politik juga telah memperlihatkan potensi penyalahgunaan instrumen pidana untuk membungkam pihak oposisi.

Namun di sisi lainnya, hukum pidana juga digunakan sebagai alat perlindungan HAM (mengkriminalisasi pelanggaran, serta memberi sanksi. Hal ini misalnya terjadi pada penindakan kasus-kasus korupsi oleh Kejaksaan dan KPK, dan pengadilan Tipikor, contoh beberapa penangkapan, penahanan, penuntutan dan vonis terhadap koruptor tingkat tinggi). Hal ini menunjukkan peran pidana melindungi hak publik atas tata kelola dan kesejahteraan. Meski demikian, pada beberapa kasus terakhir seperti kasus Tom Lembong, misalnya, penggunaan instrument anti korupsi kembali dipersoalkan. Sementara itu, Pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Seksual (UU TPKS) penguatan sebagai norma hukum materiil dan juga dilengkapi aturan formil dan pencegahan, serta untuk melindungi korban kekerasan seksual yang sebelumnya sulit dipidana.

Masalah penegakan dan impunitas juga masih menjadi persoalan serius di negara kita. Kasus pembunuhan Munir misalnya menunjukkan indikasi keterlibatan aparat dan kegagalan penegakan penuh sehingga menimbulkan tuduhan impunitas. Dalam hal ini keluarga dan masyarakat menilai akuntabilitas negara belum terpenuhi. Demikian juga Pelanggaran HAM masa lalu (Peristiwa 1998, Timor Timur, Lampung, Tanjung Priok, dll), di mana proses penegakan seringkali lambat atau tidak tuntas, menegaskan perlunya mekanisme penegakan dan perlindungan saksi/korban untuk mencegah impunitas.

 

Unduh File:

Orasi Ilmiah