preloader

Ancaman pada Negara Hukum

Kita harus semakin mahir membedakan antara relasi antarmanusia dengan relasi antara pemegang kekuasaan negara dan warga negara. Hubungan insani menjunjung tinggi saling memaafkan dan prasangka baik. Sementara hubungan antara penguasa dan warga harus dijembatani dengan konsep pertanggungjawaban. Kemahiran ini terasa semakin dibutuhkan karena hari-hari ini kita disodori pertunjukan-pertunjukan politik tentang memaafkan pejabat dan mantan presiden.

Baru-baru ini, pimpinan MPR mengadakan pertemuan-pertemuan dengan keluarga para mantan presiden—Soekarno, Abdurrahman Wahid, dan Soeharto—untuk menyatakan penghapusan nama mereka dari tiga ketetapan (Tap) MPR. Secara hukum, pernyataan ini bermasalah karena sebenarnya MPR tidak bisa lagi bertindak serupa ”superelite” dalam politik Indonesia yang menentukan arah bangsa ini ke depannya secara tertutup. Bahkan, sejak 2004, MPR juga tidak bisa lagi mengeluarkan Tap. Karena itulah, setahun setelah amendemen selesai, pada 7 Agustus 2003, MPR mengeluarkan Tap No I/MPR/2003 yang meninjau materi dan status hukum semua Tap sejak 1960 hingga 2002. Lebih lanjut, putusan Mahkamah Konstitusi No 66/PUU-XXI/2023 menegaskan undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan bahwa memang MPR tidak bisa lagi mengeluarkan Tap MPR.

Namun, pernyataan pimpinan MPR ini juga harus dilihat melampaui hukum. Ada persoalan politik penting tentang relasi antara warga negara dan pemegang kekuasaan negara. Sejatinya, hubungan antara penguasa dan warga adalah seperti hubungan antara atasan dan bawahan, tetapi berkebalikan dengan yang kerap dinarasikan oleh penguasa, atasannya adalah warga.

Penyelenggara negara mendapatkan kedudukannya karena diberi amanah oleh warga melalui pemilihan umum dan proses-proses politik lain. Karena itu, mereka harus bertanggung jawab kepada warga. Apabila ada pelanggaran hukum yang dilakukan, mereka harus bisa diminta untuk bertanggung jawab, secara politik, tetapi terutama secara hukum.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo (tengah) didampingi para wakil ketua MPR saat sidang paripurna terakhir MPR 2019-2024 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (25/9/2024).
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo (tengah) didampingi para wakil ketua MPR saat sidang paripurna terakhir MPR 2019-2024 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (25/9/2024).

Apabila ini tidak dilakukan, yang terancam adalah gagasan negara hukum. Sebab, gagasan negara hukum bertumpu pada pembatasan kekuasaan atas nama hukum karena hak asasi manusia harus menjadi landasan dalam bernegara. Seperti ditorehkan para pendiri bangsa kita pada 1945 dalam Penjelasan UUD 1945: ”Indonesia adalah negara hukum (Rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (Machtsstaat)”. Negara hukum dan negara kekuasaan diperhadapkan untuk menegaskan bahwa kekuasaan harus tunduk pada hukum. Pemegang kekuasaan, karena itu, harus bertanggung jawab secara hukum atas semua hal yang dilakukannya saat memegang kekuasaan.

Jika pertanggungjawaban ini diabaikan, akan ada normal baru tentang hukum yang diterapkan berdasarkan status seseorang. Pejabat dianggap seperti dalam struktur kerajaan, dengan presiden sebagai rajanya, serta pejabat-pejabat serupa hulubalang dan bangsawan. Dalam negara kekuasaan, mereka tidak dibatasi hukum. Padahal, kita sedang membangun negara hukum.

Apabila pejabat dan mantan pejabat dengan mudah dimaafkan segala kesalahannya, dalam jangka panjang, hukum akan semakin kehilangan legitimasinya karena ia diterapkan secara parsial, bergantung pada kekuatan (uang dan politik) orang yang berurusan dengan hukum. Yang terjadi adalah negara yang seakan diatur oleh hukum rimba: siapa kuat, dia menang. Orang miskin, masyarakat adat, orang yang tidak punya ”koneksi” dengan elite, dapat dengan mudah digusur, ditindas, dan diperlakukan sewenang-wenang. Kata-kata seperti ”koneksi”, ”orang dalam”, dan hal-hal lain yang menggambarkan nepotisme akan semakin banyak digunakan untuk tidak menghukum orang-orang kuat. Hukum akan semakin mudah dibeli.

 Aksi massa reformasi oleh Gerakan Masyarakat Yogyakarta, yang dipusatkan di Pergelaran dan Alun-alun Keraton Yogyakarta, Rabu (20/5/1998) sejak pukul 09.00.
KOMPAS/EDDY HASBY (ED)

Aksi massa reformasi oleh Gerakan Masyarakat Yogyakarta, yang dipusatkan di Pergelaran dan Alun-alun Keraton Yogyakarta, Rabu (20/5/1998) sejak pukul 09.00.

Perlu dipahami, adanya berbagai Tap MPR tersebut bukanlah pernyataan hukum mengenai bersalah atau tidaknya seorang presiden secara hukum, melainkan suatu pernyataan politik yang merupakan bagian penting dari sejarah sebagai penanda pandangan politik dan situasi pada suatu masa. Jika nama Soeharto dihapus, sebenarnya yang dihapus adalah sejarah Reformasi 1998. Sebagai manusia, pemaafan boleh dilakukan, tidak perlu menunggu Lebaran. Namun, pertanggungjawaban hukum dan politik harus dilembagakan jika kita konsisten dalam berkonstitusi.

Sanksi hukum kepada presiden dan mantan presiden penting untuk merawat negara hukum dan tidak menjadikan Indonesia negara kekuasaan.

 

Sumber:https://www.kompas.id/baca/opini/2024/10/10/ancaman-pada-negara-hukum?utm_source=link&utm_medium=shared&utm_campaign=tpd_-_website_traffic%3Fstatus%3Dsukses_login&login=1728543058911&open_from=header_button&loc=header_button

Dipublikasikan oleh:

Bivitri Susanti

Bivitri Susanti merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ia pernah menjadi menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government pada 2013-2014, visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance pada 2016, dan visiting professor di University of Tokyo, Jepang pada 2018.